Sebagai negara dengan jumlah penduduk lebih dari 260 juta orang, Indonesia adalah negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara dengan penduduknya berusia di bawah 20 tahun sebanyak 37%. Namun potensi dan produktivitas Indonesia terancam oleh banyaknya kematian karena rokok. Sebanyak 76% laki-laki berusia 15+ di Indonesia merokok – ini tertinggi di dunia. Lebih parah lagi, 20 % dari anak usia ≤10 tahun sudah mencoba sebatang rokok– dan pada usia 13 tahun, lebih dari 90% dari mereka sudah mencoba merokok (N Tjandra, 2018). Dalam kondisi yang memprihatinkan tersebut, Indonesia juga menghadapi masalah terkait produk tembakau alternatif. Salah satu produk tembakau alternatif adalah rokok elektronik atau e-Cigarette (Elecronic Nicotine Delivery Systems) yang selalu menimbulkan kontroversi. Rokok elektrik – dipasarkan sebagai alternatif yang lebih sehat untuk rokok, tapi kenyataannya mereka juga membawa risiko lebih besar terhadap kesehatan pengguna dan orang-orang di sekitarnya.
Di Amerika, potensi bahaya kesehatan dari vape, rokok elektrik dan alternatif-alternatif rokok lainnya telah menjadi perdebatan dalam beberapa tahun terakhir, terutama saat rokok elektrik kian populer. New York menjadi negara bagian terbaru yang melarang konsumsi vape atau rokok elektrik seperti larangan atau pembatasan merokok. Hasil penelitian Norris Cotton Cancer Center (2014) di Darmouth College (USA) menyimpulkan bahwa rokok elektrik lebih berbahaya daripada bermanfaat. Meski rokok elektrik mungkin membantu beberapa perokok berhenti, jenis ini tampaknya cenderung membuat non-perokok jadi perokok. Ditemukan bahwa 168,000 orang berusia 12 sampai 29 tahun yang belum pernah merokok sebelumnya jadi mulai merokok dan menjadi pengguna harian antara usia 35 sampai 39 tahun. Penelitian Medical Journal of Australia menyelidiki 10 jenis e-liquid yang diklaim “bebas nikotin,” seperti dilaporkan ABC. Penelitian tersebut memberi kesimpulan mengejutkan, dimana enam dari sepuluh zat yang diuji oleh tim tersebut justru mengandung nikotin. Penelitian ini menyalahkan minimnya regulasi produk vape dari otoritas kesehatan Australia atas temuan tersebut
Berdasarkan fakta tersebut, MTCC UMMagelang menyakini bahwa harus ada strategi baru untuk kebijakan pengendalian produk alternatid tembakau di Indonesia cq e-cigarette. Faktor yang paling berbahaya adalah betapa e-cigarette/ vaping sangat menarik bagi remaja dan anak-anak muda. Di saat sebagian besar negara sudah mengklasifikasikan e-cigarette sebagai produk yang ilegal dan terlarang, Indonesia belum ada langkah apapun. Dampak selanjutnya adalah makin beratnya tantangan penegakan aturan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Indonesia. Fakta inilah yang mendasari MTCC UMMagelang untuk menyelenggarakan diskusi kontroversi e-cigarette bersama mahasiswa dan media. Diharapkan ada kesamaan persepsi dalam pembahasan isu-isu penting terkait pengendalian produk tembakau di Indonesia. Adapun sikap MTCC UMM sendiri sangat tegas dan jelas terkait rokok elektronik :
- Rokok elektronik pada dasarnya sama dengan rokok konvensional karena mengandung zat-zat berbahaya dan menyebabkan ketergantungan dan merusak kesehatan sehingga termasuk “haram” seperti yang telah difatwakan oleh Majelis tarjih PP Muhammadiyah terhadap rokok konvensional.
- Mendorong kepada pemerintah untuk melarang segala bentuk iklan, promosi dan sponsorship dari produk tembakau dalam bentuk apapun termasuk rokok elektronik untuk melindungi generasi muda bangsa.
- Mendesak kepada Pemerintah Daerah di wilayah Provinsi Jawa Tengah khususnya segera menetapkan Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok dalam bentuk Perda termasuk pelararangannya rokok elektronik didalamnya
Selanjutnya dengan diskusi ini Mahasiswa dan media menjadi aktor penting untuk kembali menggugah kesadaran semua pihak terkait kebijakan Pelarangan Rokok elektronik atau vape.