Indonesia menghadapi masalah besar terkait pengendalian tembakau. Sampai saat ini, Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia yang belum menandatangani dan meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) World Health Organization. Bahkan Cina sudah menandatangani FCTC, dimana FCTC melihat bahwa cara paling efektif untuk mengurangi jumlah remaja konsumsi merokok adalah dengan melarang aktivitas pemasaran tembakau dan membatasi akses perusahaan dalam penentuan kebijakan pemerintah. Sebagai negara dengan jumlah penduduk lebih dari 260 juta orang, Indonesia adalah negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara dengan penduduknya berusia di bawah 20 tahun sebanyak 37%. Namun potensi dan produktivitas Indonesia terancam oleh banyaknya kematian karena rokok. Sebanyak 76% laki-laki berusia 15+ di Indonesia merokok – ini tertinggi di dunia. Lebih parah lagi, generasi usia muda mengikuti senior mereka, 20 % dari anak usia ≤10 tahun sudah mencoba sebatang rokok– dan pada usia 13 tahun, lebih dari 90% dari mereka sudah mencoba merokok (N Tjandra, 2018). Diperkirakan setiap tahun, penyakit yang berhubungan dengan rokok menewaskan hampir 250.000 orang Indonesia. Studi Indonesia Family Life Surveys (IFLS) tahun 2007-2014 juga menunjukkan bahwa rokok bersifat adiktif sehingga perilaku merokok pasti terkait erat dengan jebakan kemiskinan.
Berdasarkan fakta tersebut, MTCC UMMagelang menyakini bahwa harus ada strategi baru untuk kebijakan pengendalian tembakau di Indonesia. Perusahaan rokok (dan juga politisi pro industri rokok) selalu menggunakan isu ancaman penghidupan petani tembakau dan buruh pabrik rokok sebagai tameng dalam melawan kebijakan pengendalian tembakau. Padahal selama ini praktik monopoli industri tembakau membuat petani tembakau berada dalam posisi kehilangan daya tawar, sehingga margin keuntungannya sangat kecil. Data juga menunjukkan bahwa maraknya PHK buruh pabrik rokok bukan diakibatkan kenaikan tarif cukai rokok, melainkan karena usaha efisiensi dan mekanisasi industri tembakau. Dibuktikan bahwa pada periode 2005-2013 terdapat kenaikan produksi rokok sebanyak 47%, meski jumlah pekerja industri pengolahan tembakau justru terus mengalami penurunan. Kebijakan pengendalian tembakau melalui peningkatan kapasitas petani tembakau dan penegakan regulasi Kawasan Tanpa Rokok (KTR) merupakan prioritas kegiatan MTCC UMMagelang.
Hasil penelitian MTCC di Temanggung Jateng (2014) menunjukkan data bahwa hampir 90% petani tembakau menyatakan sistem tata niaga tembakau tidak berpihak pada petani. Fakta tersebut juga ditambah dengan masalah rancangan legilasi kebijakan KTR yang masih menghadapi masalah kompleks dalam implementasinya. Data dari WHO menyebutkan bahwa salah satu taktik umum industri pertembakauan untuk melawan kebijakan kesehatan masyarakat adalah melalui intervensi dalam proses pembuatan rancangan legislasi untuk kesehatan masyarakat. Sementara regulasi KTR di Indonesia, baru 203 kota/kabupaten yang memiliki regulasi KTR dan 212 kota/kabupaten belum memiliki regulasi KTR. Masing-masing daerah mempunyai kompleksifitas dalam penerapan regulasi kawasan tanpa rokok ini. Oleh karenanya, perlu dukungan semua pihak untuk bisa efektif dalam penegakan regulasi kawasan tanpa rokok ini. Media sebagai salah satu stakeholder, sangat dibutuhkan dukungannya dalam menyampaikan situasi dan kondisi yang dihadapi daerah terkait regulasi KTR maupun permasalahan pertanian tembakau. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat mendapatkan informasi yang jelas dan tujuan pengendalian tembakau tersampaikan kepada masyarakat bawah sampai pada tingkat pemerintah. Tujuan inilah yang mendasari MTCC UMMagelang untuk menyelenggarakan diskusi antar jurnalis/media lokal Jawa Tengah dan nasional. Diharapkan ada kesamaan persepsi dalam pembahasan isu-isu penting terkait pengendalian tembakau di Jawa Tengah dan juga di Indonesia. Media menjadi aktor penting untuk kembali menggugah kesadaran semua pihak terkait kebijakan pengendalian tembakau.
Media Network & Communication Officer
MTCC UMMagelang
Rochiyati Murni N