Kasus balita berusia dua tahun (RF lahir 17 Oktober 2015) di Cibadak Sukabumi yang kecanduan rokok – menggugah kita semua betapa mirisnya baby smokers di sekitar kita. Kebiasaan buruk itu muncul karena mayoritas lingkungan anak adalah penghisap rokok. Saat ini jumlahnya diprediksi telah mencapai 60 juta orang. Mirisnya, tren merokok juga telah merambah pada kalangan anak-anak dari usia 10 tahun-14 tahun. Tingkat merokok di kalangan-anak terus meningkat dengan cepat, hingga membuat Indonesia menjadi negara dengan proposi perokok muda terbesar di kawasan Asia Pasifik. Fakta meningkatnya perokok anak-anak (baby smokers) sangat dipengaruhi oleh kurangnya kesadaran masyarakat terhadap bahaya merokok. Kondisi tersebut diperparah dengan tidak ditegakkannya peraturan tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) sebagai bagian dari amanat dari Undang-Undang kesehatan no.36 tahun 2009.
Salah satu faktor meningkatnya jumlah baby smokers diakibatkan paparan iklan rokok. Iklan rokok merupakan salah satu faktor utama yang mendorong perilaku merokok, khususnya perokok pemula yaitu anak dan remaja (baby smoker-young smokers). Kondisi ini makin memperkuat komitmen MTCC UMMagelang untuk berkontribusi pada penegakan hak kesehatan yang harus dinikmati semua warga melalui implementasi Kawasan Tanpa Rokok dan Pelarangan Iklan Promosi dan sponsor rokok. Langkah konkrit ini dilakukan karena banyak Pemerintah Daerah yang belum memiliki Perda khusus KTR sehingga penegakkannya masih minim. Sementara tanpa adanya perhatian serius pemerintah maka jumlah perokok di Indonesia makin tinggi dan akan menjadi bom waktu di masa depan. Hal yang lebih memprihatinkan lagi, adalah kesadaran pemerintah daerah terkait konsekuensi predikat “Kota Layak Anak (KLA)”. Predikat KLA semestinya disertai komitmen pemerintah daerah untuk menerapkan sistem pembangunan berbasis hak anak. Salah satunya adalah perlindungan anak dari zat adiktif dengan regulasi Kawasan tanpa rokok serta pelarangan Iklan sponsor dan promosi rokok.
Sudah seharusnya dilakukan pengendalian reklame iklan rokok yang terpasang di tempat umum agar tidak mempengaruhi persepsi anak. Satu contoh: Semestinya iklan rokok yang berdampingan dengan pemberian penghargaan KLA pada Pemda Kota Magelang (baliho di jalan A Yani Kota Magelang) – harus segera dikoreksi! Iklan rokok Gudang Garam yang berada disebelah baliho penghargaan kota layak anak harus segera diturunkan, selain berlawanan pesan dengan baliho kota layak anak, baliho iklan rokok ini juga melanggar PP Nomor 109 tahun 2012 dikarenakan di pasang di tengah jalan . Ini merupakan satu contoh kesadaran Pemda terhadap predikat KLA masih harus dikawal. Penegakan regulasi tentang larangan iklan rokok harus menjadi perhatian Pemerintah Daerah karena iklan, promosi dan sponshorship rokok sangat gencar dilakukan oleh industri rokok dengan sasarannya adalah anak muda/remaja (baby smokers/ young smokers). Pemerintah harus melindungi generasi muda dari masif nya gerakan industri rokok ini. Save children – melalui pengintegrasian komitmen dan sumber daya pemerintah, masyarakat dan dunia usaha, yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam kebijakan, program dan kegiatan untuk menjamin terpenuhinya hak dan perlindungan anak. KTR menjadi solusi mendesak.
Perlu diperhatikan juga, dampak tidak dikendalikannya perilaku merokok masyarakat juga sangat meningkatkan kemungkinan kejadian stunting (tubuh pendek) pada anak dan berkontribusi pada kemiskinan rumah tangga tersebut. Untuk itu, penurunan angka stunting dan pencegahan kemiskinan tidak bisa dilepaskan dari kebijakan pengendalian konsumsi rokok yang kuat. Studi berdasar data panel Indonesia Family Life Surveys (IFLS) tahun 2007-2014, menunjukkan bahwa rokok bersifat adiktif sehingga merokok menjadi hal yang prioritas sehingga kepentingan lain seperti memenuhi asupan makanan bergizi dan pendidikan sebagai investasi sumber daya manusia dikesampingkan. Perilaku merokok juga terkait erat dengan jebakan kemiskinan. Peningkatan pengeluaran rokok sebesar 1 persen akan meningkatkan probabilitas rumah tangga tersebut menjadi miskin sebesar 6 persen. Ini terjadi karena pengeluaran yang bersifat produktif dikalahkan oleh konsumsi rokok. Di perkotaan, rokok menyumbang 9,98 persen terhadap garis kemiskinan dan di pedesaan menyumbang 10,7 persen.
Media Network & Communication Officer
MTCC UMM
Rochiyati Murni N